Rabu, 05 Oktober 2011

Surat Terakhir buat Dinda Sudirman


Antara Sudirman dan Urip Sumohardjo. Ya, satu di antara dua nama itu yang pasca kemerdekaan, layak didudukkan sebagai panglima angkatan perang Indonesia yang baru merdeka. Secara senioritas, Urip-lah orangnya. Akan tetapi, ia justru menolak jabatan itu, dan mendukung Sudirman menjadi Panglima Besar.
Urip adalah pensiunan Mayor KNIL dan berjasa besar dalam republik ini. Ia telah duduk sebagai pimpinan BKR (Badan Keamanan Rakyat) sejak awal berdirinya. Selain lebih tua secara usia, Urip juga lebih berpengalaman di bidang kemiliteran dibandingkan Sudirman. Akan tetapi, Bung Karno memilih Sudirman yang memiliki jiwa nasionalisme lebih kuat, di samping mengerti perasaan para perwira PETA (Pembela Tanah Air). Atas keputusan itu, Urip ikhlas menerimanya. Termasuk ikhlas menerima keputusannya mendampingi Pak Dirman.
Bahkan sejarah akhirnya mencatat, Urip Sumohardjo mendampingi Jenderal Sudirman hingga akhir hayatnya. Catatan sejarah militer pun menuliskan dengan tinta emas, jalinan kerja sama keduanya dalam memimpin angkatan perang, sejak dibentuk hingga kokoh memerangi invasi Sekutu yang ingin menggoyang kemerdekaan Indonesia. Keduanya, bahu-membahu melakukan perang gerilya.
Bahkan, sesaat setelah Bung Karno – Bung Hatta dan sejumlah menteri ditawan Belanda, Jenderal Sudirman yang setia pada garis negara. Apalagi, Bung Karno begitu pintar, sehingga saat ditawan, ia telah menyerahkan mandat kepresidenan kepada Syafrudin Prawiranegara. Dialah yang menjadi Presiden/Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) selama 207 hari (19 Desember 1948 – 13 Juli 1949). Itu artinya, saat Bung Karno ditahan, ia berdalih bukan presiden.
Di sisi lain, Jenderal Sudirman bersama angkatan perangnya, terus mengobarkan perang perlawanan terhadap Sekutu. Perang baru berhenti ketika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia, sekalipun pada awalnya, pengakuan itu masih dalam bingkai RIS (Republik Indonesia Serikat). Setidaknya, Indonesia merdeka sudah diakui oleh koloni dan dunia. Ini yang kemudian diteruskan oleh para pejuang kita menjadi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dan mengikir anasir-anasir “Serikat” yang bertentangan dengan semangat Indonesia merdeka, melingkupi wilayah Sabang – Merauke.
Membuka kembali lembar sejarah yang memuat cerita Bung Karno dan Jenderal Sudirman, sampailah saya pada satu buku yang memuat surat terakhir Bung Karno kepada Panglima Besar Jenderal Sudirman. Saya kutipkan saya secara lengkap isi surat itu:
Y.M. Panglima Besar
Adinda Soedirman,
Assalamu’alaikum w.w.
Dinda,
Jika ditakdirkan Tuhan, saya besok pagi dengan keluarga pindah ke Jakarta. Sebenarnya, saya tadinya bermaksud pamitan kepada Dinda secara direct ini hari, tapi sekonyong-konyong datanglah hal-hal yang penting yang harus saya selesaikan sebelum meninggalkan Yogya, sehingga terpaksalah saya pamitan kepada Dinda dengan surat ini saja, –dengan hati yang berat.
Dinda,
Dinda tahu perasaan Kanda terhadap Dinda. Ibaratnya, hatiku ini adalah kitab yang terbuka di hadapan Dinda. Politik pun Kanda satu buku yang terbuka bagi Dinda.
RIS yang kita capai sekarang ini, bukanlah tujuan kita yang terakhir. RIS kita pakai sebagai alat untuk meneruskan usaha perjuangan kita. Dalam usaha di perjuangan yang masih di hadapan kita itu, Kanda masih membutuhkan tenaga atau fikiran Dinda. Karena itu Kanda mengharap supaya Dinda tetap memberi bantuan itu kepada Kanda.
Banyak kekhilafan Kanda sebagai manusia, –juga terhadap Dinda. Karena itu, pada saat saya akan meninggalkan Yogya ini, saya minta supaya Dinda suka memaafkan segala kekhilafan atau kesalahan Kanda, maafkanlah dengan ikhlas!
Kanda doakan kepada Tuhan, moga-moga Dinda segera sembuh. Dan mohonkanlah juga, supaya Kanda di dalam jabatan baru ini, selalu dipimpin dan diberi kekuatan oleh Tuhan. Manusia tak berkuasa suatu apa, hanya Dia-lah yang menentukan segalanya.
Sampaikan juga salam ta’zim isteriku kepada Zus Dirman. Iteriku pun minta diberi banyak maaf, dan doa kehadirat Tuhan.
Sekian saudaraku!
Merdeka!
Soekarno
27/12/’49
Begitlah surat Bung Karno yang menyebutkan dirinya “kanda” kepada Jenderal Sudirman yang dipanggilnya “dinda”. Tidak berapa lama sejak surat itu, tepatnya pada tanggal 29 Januari 1950 pukul 18.39, Pak Dirman meninggal dunia di Pesanggrahan Tengara Badaan, Magelang, di lembah Gunung Tidar. (roso daras)


sumber: rosodaras.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar