Rabu, 05 Oktober 2011

Ketika Sang Putra Fajar Terlahir

Bayi Sukarno lahir menjelang matahari merekah. Karenanya, dia disebut pula sebagai Putra Sang Fajar. Orang Jawa memiliki kepercayaan, seseorang yang dilahirkan saat matahari terbit, nasibnya telah ditakdirkan terlebih dulu. Terlebih, Bung Karno yang dilahirkan tahun 1901 (tanggal 6 Juni) terbilang putra perintis abad. Ya, abad ke-19, sebuah peradaban gelap yang masih menyelimuti bangsa kita dan sebagian besar belahan bumi lainnya oleh aksi imperialisme yang merajalela.

bung karno sungkem ibudndaKelahiran putra sang fajar, diyakini —setidaknya oleh Idayu, sang ibunda— bakal menjadi penerang bagi bangsanya. Letusan Gunung Kelud yang terjadi kala Sukarno lahir, makin menguatkan pratanda alam menyambut kehadirannya di atas jagat raya. Benar, gunung berapi yang puncaknya di atas ketinggian 1.731 di atas permukaan air laut itu, tiba-tiba saja bergolak setelah sekian lama tidak menunjukkan aktivitas vulkanik yang berarti.


Begitulah alam memberi tanda bagi lahirnya sang jabang bayi putra pasangan Raden Sukemi Sosrodihardjo dan Idayu ini. Siapa nyana, bayi merah yang dilahirkan bukan oleh dukun beranak, melainkan oleh seorang kakek yang masih kerabat ayahandanya itu, kelak akan berjuluk Pemimpin Besar Revolusi, Panglima Tertinggi, Paduka Yang Mulia Presiden Republik Indonesia yang pertama.


Dialah sang proklamator, yang membawa bangsa ini memasuki pintu gerbang kemerdekaan, setelah lebih 3,5 abad dijajah Belanda, dan 3,5 tahun dinista Jepang dengan bengisnya. Bung Karno sendiri menyimpan sebuah “restu” Ibunda, saat usia balita.


Dikisahkan, suatu subuh, menjelang matahari menyingsing, ibunda Sukarno bangun dan duduk di beranda rumahnya yang kecil, menghadap ke arah Timur. Udara pagi masih menggigit, embun pagi menyelimuti dedaunan. Sukarno yang terbangun, menyaksikan ibundanya duduk terpekur, diam tak bergerak menyongsong matahari pagi. Demi melihat ibuda di beranda seorang diri, Sukarno kecil mengayun langkah menghampirinya.


bersama ayahandaSang Idayu, demi melihat anaknya mendekat, diulurkannya kedua tangan dan direngkuhnya Sukarno kecil ke dalam pelukannya. Nah, di saat itulah ibunda Idayu melepas kata dengan nada lembut, “Engkau sedang memandangi fajar nak. Ibu katakan kepadamu, kelak engkau akan menjadi orang yang mulia, engkau akan menjadi pemimpin dari rakyat kita, karena ibu melahirkanmu jam setengah enam pagi di saat fajar menyingsing. Orang Jawa mempunyai suatu kepercayaan, bahwa orang yang dilahirkan di saat matahari terbit, nasibnya telah ditakdirkan terlebih dahulu. Jangan lupakan itu, jangan sekali-kali kau lupakan nak, bahwa engkau ini putra dari sang fajar.”


Tutur lembut sang ibu, dimaknai Bung Karno sebagai sebuah restu yang mengalir bersama darah Sukarno sepanjang hayat dikandung badan.


Bagaimana dengan makna angka yang serba enam yang mengiringi kelahirannya? Ya, Sukarno dalam satu kesempatan menuturkan ihwal kelahirannya pada tanggal enam bulan enam, berbintang gemini. Lambang kembar yang mengalirkan dua watak berlainan. Demikianlah Sukarno. Ia bisa lunak, dan bisa sangat cerewet. Bisa keras laksana baja, bisa lembut berirama. Ia meringkus musuh negara dan menjebloskannya ke balik jerajak besi, tetapi tak tega melihat seekor burung terkurung dalam sangkar. Ia memerintahkan prajurit membunuh musuh, tetapi tak tega menepuk nyamuk yang menggigit lengannya.


Dialah Sukarno, lahir dari seorang ibu kelahiran Bali dari kasta Brahmana, Idayu, keturunan bangsawan. Raja Singaraja yang terakhir, adalah paman ibundanya. Sedangkan ayah yang mengukir jiwa raganya, berasal dari Jawa bernama Raden Sukemi Sosrodihardjo. Dia berasal dari keturunan Sultan Kediri.

Biarkan Aku Yang Terluka

Biarkan Aku Yang Terluka
Tidak terlalu berlebihan kiranya apabila Bung Karno mendapat julukan Putera Sang Fajar, secara awam dapat saya katakana bahwa Bung Karno merupakan sosok yang membawa bangsa ini menuju fajar kemerdekaan.
Seluruh kekuaatan bangsa ini ada dalam genggaman Bung Karno, merah kata Bung Karno maka merelah seluruh Indonesia, hitam kata Bung Karno maka hitamlah Indonesia. Perkataan Bung Karno serta ajaran yang disampaikan akan menjadi isi kepala seluruh bangsa Indonesia.
Melihat dari latar belakang diatas maka yang ada dalam fikiran kita adalah: Bung Karno akan menggenggam Indonesia samapai saatnya dia menghadap Sang Pencipta. Pengangkatan Bung Karno sebagai Presiden seumur hidup tentunya melanggar Undang-Undang, tetapi dianggap sebuah kebenaran terutama oleh masyarakat kalangan bawah. Namun demikian sejarah telah menentukan sesuatu yang berbeda, dimana akal dan perkiraan manusia tidak lagi mampu memegang serta menjadi sutradara jalannya sebuah sejarah.
Tulisan yang sangat singkat ini sedikit member gambaran betapa pedihnya sayatan pedang sejarah.
Tak lama setelah mosi tidak percaya Parlemen bentukan Nasution di tahun 1967 dan MPRS menunjuk Suharto sebagai Presiden RI, Bung Karno menerima surat untuk segera meninggalkan Istana dalam waktu 2 X 24 Jam. Bung Karno dengan wajah sedih membaca surat pengusiran itu. Ia sama sekali tidak diberi waktu untuk menginventarisir barang-barang pribadinya.
Wajah-wajah tentara yang diperintahkan Suharto untuk mengusir Bung Karno tidak bersahabat lagi. “Bapak harus cepat meninggalkan Istana ini dalam waktu dua hari dari sekarang”.
Bung Karno pergi ke ruang makan dan melihat Guruh sedang membaca sesuatu di ruang itu. “Mana kakak-kakakmu?” kata Bung Karno. Guruh menoleh ke arah Bapaknya dan berkata “Mereka pergi ke rumah Ibu” rumah Ibu yang dimaksud adalah rumah Fatmawati di Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru.
Bung Karno berkata lagi “Mas Guruh, Bapak sudah tidak boleh tinggal di
Istana ini lagi, kamu persiapkan barang-barangmu, jangan kamu ambil
lukisan atau hal lain itu punya negara”. Kata Bung Karno lalu ia pergi
ke ruang depan dan mengumpulkan semua ajudan-ajudannya yang setia.
Beberapa ajudannya sudah tidak kelihatan ia maklum, ajudan itu sudah
ditangkapi karena diduga terlibat Gestapu. “Aku sudah tidak boleh
tinggal di Istana ini lagi, kalian jangan mengambil apapun,
Lukisan-lukisan itu, souvenir, dan macam-macam barang itu milik negara”.
Semua ajudan menangis Bung Karno mau pergi, “Kenapa bapak tidak
melawan, kenapa dari dulu bapak tidak melawan” salah satu ajudan hampir
berteriak memprotes tindakan diam Bung Karno. “Kalian tau apa, kalau
saya melawan nanti perang saudara, perang saudara itu sulit jikalau
perang dengan Belanda kita jelas hidungnya beda dengan hidung kita,
perang dengan bangsa sendiri tidak..lebih baik saya yang robek dan
hancur daripada bangsa saya harus perang saudara”. Beberapa orang dari
dapur berlarian saat tau Bung Karno mau pergi, mereka bilang “Pak kami
tidak ada anggaran untuk masak, tapi kami tidak enak bila bapak pergi
belum makan. Biarlah kami patungan dari uang kami untuk masak agak enak
dari biasanya” Bung Karno tertawa “Ah, sudahlah sayur lodeh basi tiga
hari itu malah enak, kalian masak sayur lodeh saja. Aku ini perlunya
apa….”
Di hari kedua saat Bung Karno sedang membenahi baju-bajunya datang
seorang perwira suruhan Orde Baru. “Pak, bapak segera meninggalkan
tempat ini” beberapa tentara sudah memasuki beberapa ruangan. Dalam
pikiran Bung Karno yang ia takuti adalah bendera pusaka. Ia ke dalam
ruang membungkus bendera pusaka dengan kertas koran lalu ia masukkan
bendera itu ke dalam baju yang dikenakannya di dalam kaos oblong, Bung
Karno bendera pusaka tidak akan dirawat oleh rezim ini dengan benar.
Bung Karno lalu menoleh pada ajudannya Saelan. “Aku pergi dulu” kata
Bung Karno hanya dengan mengenakan kaus oblong putih dan celana panjang
hitam. “Bapak tidak berpakaian dulu” Bung Karno mengibaskan tangannya,
ia terburu-buru. Dan keluar dari Istana dengan naik mobil VW kodok ia
minta diantarkan ke rumah Ibu Fatmawati di Sriwijaya, Kebayoran.
Di rumah Fatmawati, Bung Karno hanya duduk seharian saja di pojokan
halaman, matanya kosong. Ia sudah meminta agar Bendera Pusaka itu
dirawat hato-hati. Bung Karno kerjanya hanya mengguntingi daun-daun yang
tumbuh di halaman. Kadang-kadang ia memegang dadanya, ia sakit ginjal
parah namun obat-obatan yang biasanya diberikan tidak kunjung diberikan.
Hanya beberapa minggu Bung Karno di Sriwijaya tiba-tiba datang satu
truk tentara ke rumah Sriwijaya. Suatu saat Bung Karno mengajak
ajudannya yang bernama Nitri yang orang Bali untuk jalan-jalan. Saat
melihat duku Bung Karno bilang “Aku pengen duku..Tri, Sing Ngelah Pis,
aku tidak punya uang” Nitri yang uangnya juga sedikit ngelihat
dompetnya, ia cukup uang untuk beli duku. Lalu Nitri mendatangi tukang
duku dan berkata “Pak bawa dukunya ke orang yang ada di dalam mobil”
Tukang duku itu berjalan dan mendekat ke Bung Karno “Mau pilih mana Pak,
manis-manis nih” kata Tukang Duku dengan logat betawi. Bung Karno
berkata “Coba kamu cari yang enak” Tukang Duku-nya merasa sangat akrab
dengan suara itu dan dia berteriak “Lha itu kan suara
Bapak…Bapak…Bapak” Tukang Duku berlari ke teman-temannya pedagang
“Ada Pak Karno…ada Pak Karno” serentak banyak orang di pasar
mengelilingi Bung Karno. Bung Karno tertawa tapi dalam hati ia takut
orang ini akan jadi sasaran tentara karena disangka mereka akan
mendukung Bung Karno. “Tri cepat jalan”….. Mendengar Bung Karno sering
keluar rumah maka tentara dengan cepat memerintahkan Bung Karno
diasingkan. Di Bogor dia diasingkan ke Istana Batu Tulis dan dirawat
oleh : Dokter Hewan…..
Kenyataan tragis yang dialami oleh Bung karno merupakan gambaran tragis kondisi politik dan sistim alih kekuasaan di Indonesia. Bung Karno telah memberikan seluruh catatan hidupnya untuk kebangkitan Bangsa Indonesia, walau pada akhirnya di Indonesia pula Bung Karno di campakkan.

sumber: penasoekarno.wordpress.com
Salam:

Surat Terakhir buat Dinda Sudirman


Antara Sudirman dan Urip Sumohardjo. Ya, satu di antara dua nama itu yang pasca kemerdekaan, layak didudukkan sebagai panglima angkatan perang Indonesia yang baru merdeka. Secara senioritas, Urip-lah orangnya. Akan tetapi, ia justru menolak jabatan itu, dan mendukung Sudirman menjadi Panglima Besar.
Urip adalah pensiunan Mayor KNIL dan berjasa besar dalam republik ini. Ia telah duduk sebagai pimpinan BKR (Badan Keamanan Rakyat) sejak awal berdirinya. Selain lebih tua secara usia, Urip juga lebih berpengalaman di bidang kemiliteran dibandingkan Sudirman. Akan tetapi, Bung Karno memilih Sudirman yang memiliki jiwa nasionalisme lebih kuat, di samping mengerti perasaan para perwira PETA (Pembela Tanah Air). Atas keputusan itu, Urip ikhlas menerimanya. Termasuk ikhlas menerima keputusannya mendampingi Pak Dirman.
Bahkan sejarah akhirnya mencatat, Urip Sumohardjo mendampingi Jenderal Sudirman hingga akhir hayatnya. Catatan sejarah militer pun menuliskan dengan tinta emas, jalinan kerja sama keduanya dalam memimpin angkatan perang, sejak dibentuk hingga kokoh memerangi invasi Sekutu yang ingin menggoyang kemerdekaan Indonesia. Keduanya, bahu-membahu melakukan perang gerilya.
Bahkan, sesaat setelah Bung Karno – Bung Hatta dan sejumlah menteri ditawan Belanda, Jenderal Sudirman yang setia pada garis negara. Apalagi, Bung Karno begitu pintar, sehingga saat ditawan, ia telah menyerahkan mandat kepresidenan kepada Syafrudin Prawiranegara. Dialah yang menjadi Presiden/Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) selama 207 hari (19 Desember 1948 – 13 Juli 1949). Itu artinya, saat Bung Karno ditahan, ia berdalih bukan presiden.
Di sisi lain, Jenderal Sudirman bersama angkatan perangnya, terus mengobarkan perang perlawanan terhadap Sekutu. Perang baru berhenti ketika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia, sekalipun pada awalnya, pengakuan itu masih dalam bingkai RIS (Republik Indonesia Serikat). Setidaknya, Indonesia merdeka sudah diakui oleh koloni dan dunia. Ini yang kemudian diteruskan oleh para pejuang kita menjadi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dan mengikir anasir-anasir “Serikat” yang bertentangan dengan semangat Indonesia merdeka, melingkupi wilayah Sabang – Merauke.
Membuka kembali lembar sejarah yang memuat cerita Bung Karno dan Jenderal Sudirman, sampailah saya pada satu buku yang memuat surat terakhir Bung Karno kepada Panglima Besar Jenderal Sudirman. Saya kutipkan saya secara lengkap isi surat itu:
Y.M. Panglima Besar
Adinda Soedirman,
Assalamu’alaikum w.w.
Dinda,
Jika ditakdirkan Tuhan, saya besok pagi dengan keluarga pindah ke Jakarta. Sebenarnya, saya tadinya bermaksud pamitan kepada Dinda secara direct ini hari, tapi sekonyong-konyong datanglah hal-hal yang penting yang harus saya selesaikan sebelum meninggalkan Yogya, sehingga terpaksalah saya pamitan kepada Dinda dengan surat ini saja, –dengan hati yang berat.
Dinda,
Dinda tahu perasaan Kanda terhadap Dinda. Ibaratnya, hatiku ini adalah kitab yang terbuka di hadapan Dinda. Politik pun Kanda satu buku yang terbuka bagi Dinda.
RIS yang kita capai sekarang ini, bukanlah tujuan kita yang terakhir. RIS kita pakai sebagai alat untuk meneruskan usaha perjuangan kita. Dalam usaha di perjuangan yang masih di hadapan kita itu, Kanda masih membutuhkan tenaga atau fikiran Dinda. Karena itu Kanda mengharap supaya Dinda tetap memberi bantuan itu kepada Kanda.
Banyak kekhilafan Kanda sebagai manusia, –juga terhadap Dinda. Karena itu, pada saat saya akan meninggalkan Yogya ini, saya minta supaya Dinda suka memaafkan segala kekhilafan atau kesalahan Kanda, maafkanlah dengan ikhlas!
Kanda doakan kepada Tuhan, moga-moga Dinda segera sembuh. Dan mohonkanlah juga, supaya Kanda di dalam jabatan baru ini, selalu dipimpin dan diberi kekuatan oleh Tuhan. Manusia tak berkuasa suatu apa, hanya Dia-lah yang menentukan segalanya.
Sampaikan juga salam ta’zim isteriku kepada Zus Dirman. Iteriku pun minta diberi banyak maaf, dan doa kehadirat Tuhan.
Sekian saudaraku!
Merdeka!
Soekarno
27/12/’49
Begitlah surat Bung Karno yang menyebutkan dirinya “kanda” kepada Jenderal Sudirman yang dipanggilnya “dinda”. Tidak berapa lama sejak surat itu, tepatnya pada tanggal 29 Januari 1950 pukul 18.39, Pak Dirman meninggal dunia di Pesanggrahan Tengara Badaan, Magelang, di lembah Gunung Tidar. (roso daras)


sumber: rosodaras.wordpress.com