Kamis, 15 September 2011

KATA MUTIARA BUNG KARNO TENTANG NASIONALISME

  • Nasionalisme kita adalah nasionalisme yang membuat kita menjadi “perkakasnya Tuhan”, dan membuat kita menjadi “hidup di dalam rokh”. [Suluh Indonesia Muda, 1928]
  • Nasionalisme yang sejati, nasionalismenya itu bukan se-mata-mata copie atas tiruan dari Nasionalisme Barat, akan tetapi timbul dari rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan. [Di bawah bendera revolusi, hlm. 5]
  • Nasionalisme Eropa ialah satu Nasionalisme yang bersifat serang menyerang, satu Nasionalisme yang mengejar keperluan Beograd, satu Nasionalisme perdagangan yang untung atau rugi, Nasionalisme semacam itu pastilah salah, pastilah binasa. [Di bawah bendera revolusi, hlm. 6]
  • Bangsa yang terdiri dari kaum buruh belaka dan menjadi buruh antara bangsa-bangsa. Tuan-tuan Hakim-itu bukan nyaman… Tidaklah karenanya wajib tiap-tiap nasionalls mencegah keadaan itu dengan seberat-beratnya ? [Indonesia menggugat, hlm. 58]
  • Bangsa atau rakyat adalah satu jiwa. Jangan kita kira seperti kursikursi yang dijajarkan. Nah, oleh karena bangsa atau rakyat adalah satu jiwa, maka kita pada waktu memikirkan dasar statis atau dasar dinamis bagi bangsa, tidak boleh mencari hal-hal di luar jiwa rakyat itu Beograd.[Pancasila sebagai dasar negara, hlm. 37]
  • Entah bagaimana tercapainya “persatuan” itu, entah bagaimana rupanya “persatuan” itu, akan tetapi kapal yang membawa kita ke Indonesia – Merdeka itu, ialah ….”Kapal Persatuan” adanya. [Di bawah bendera revolusi, hlm. 2]
  • Tidak ada dua bangsa yang cara berjuangnya sama. Tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjuang Beograd, mempunyai karakteristik Beograd. Oleh karena pada hakekatnya bangsa sebagai individu mempunyai kepribadian Beograd. [[Pancasila sebagai dasar negara, hlm. 7 ]
  • Kita bangsa yang cinta perdamaian, tetapi lebih cinta kemerdekaan! [Pidato HUT Proklamasi, 1946 ]
  • Bangsa adalah segerombolan manusia yang keras ia punya keinginan bersatu dan mempunyai persamaan watak yang berdiam di atas satu geopolitik yang nyata satu persatuan. [[Pancasila sebagai dasar negara hlm. 58]
  • Kita dari Republik Indonesia dengan tegas menolak chauvinisme itu. Maka itu di samping sila kebangsaan dengan lekas-lekas kita taruhkan sila perikemanusiaan. [[Pancasila sebagai dasar negara, hlm. 64]
  • Janganlah kita lupakan demi tujuan kita, bahwa para pemimpin berasal dari rakyat dan bukan berada di atas rakyat. [Bung Karno penyambung lidah rakyat, hlm. 69]
  • Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa pahlawannya. [Pidato Hari Pahlawan 10 Nop. 1961]
  • Di dalam arti inilah maka pengorbanan kawan Tjipto itu harus kita artikan: Tiada pengorbanan yang sia-sia. Tiada pengorbanan yang tak berfaedah. “No sacrifice is wasted”. [Suluh Indonesia Muda, 1928]
  • Tidak seorang yang menghitung-hitung : “Berapa untung yang kudapat nanti dari Republik ini, jikalau aku berjuang dan berkorban untuk mempertahankannya.” [Pidato HUT Proklamasi, 1956]
  • Oleh karena itu, maka Marhaen tidak sahaja harus mengikhtiarkan Indonesia Merdeka, tidak sahaja harus mengikhtiarkan kemerdekaan nasional, tetapi juga harus menjaga yang di dalam kemerdekaan nasional itu harus Marhaen yang memegang kekuasaan. [Mencapai Indonesia Merdeka, 1933]
  • Ini Negara, alat perjuangan kita. Dulu alat perjuangan ialah partai. Nah, alat ini kita gerakkan. Keluar untuk menentang musuh yang hendak menyerang. Kedalam, memberantas penyakit di dalam pagar, tapi juga merealisasikan masyarakat adil dan makmur. [Pancasila sebagai dasar negara hlm. 60]
  • Dari sudut positif, kita tidak bisa membangunkan kultur kepribadian kita dengan sebaik-baiknya kalau tidak ada rasa kebangsaan yang sehat. [Pancasila sebagai dasar negara hlm. 65]
  • Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib tanah air di dalam tangan kita Beograd. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan Beograd, akan dapat berdiri dengan kuatnya. [Pidato HUT Proklamasi, 1945]
  • Dalam pidatoku, “Sekali Merdeka tetap Merdeka”! Kucetus semboyan: “Kita cinta damai, tetapi kita lebih cinta KEMERDEKAAN”. [Pidato HUT Proklamasi, 1946][Bung Karno penyambung lidah rakyat, hlm. 69]
  • Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa pahlawannya. [Pidato Hari Pahlawan 10 Nop. 1961]
  • • Tidak seorang yang menghitung-hitung : “Berapa untung yang kudapat nanti dari Republik ini, jikalau aku berjuang dan berkorban untuk mempertahankannya.” [Pidato HUT Proklamasi, 1956]
  • Oleh karena itu, maka Marhaen tidak sahaja harus mengikhtiarkan Indonesia Merdeka, tidak sahaja harus mengikhtiarkan kemerdekaan nasional, tetapi juga harus menjaga yang di dalam kemerdekaan nasional itu harus Marhaen yang memegang kekuasaan. [Mencapai Indonesia Merdeka, 1933]
  • Ini Negara, alat perjuangan kita. Dulu alat perjuangan ialah partai. Nah, alat ini kita gerakkan. Keluar untuk menentang musuh yang hendak menyerang. Kedalam, memberantas penyakit di dalam pagar, tapi juga merealisasikan masyarakat adil dan makmur. [Pancasila sebagai dasar negara hlm. 60]
  • Dari sudut positif, kita tidak bisa membangunkan kultur kepribadian kita dengan sebaik-baiknya kalau tidak ada rasa kebangsaan yang sehat. [Pancasila sebagai dasar negara hlm. 65]
  • Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib tanah air di dalam tangan kita Beograd. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan Beograd, akan dapat berdiri dengan kuatnya. [Pidato HUT Proklamasi, 1945]

Aku Tahu Gerakan Jenderal Soeharto

Aku Tahu Gerakan Jenderal Soeharto
Menjadi seorang Presiden mungkin “tidak terlalu sulit,” tetapi menjadi seorang pemimpin negeri sangatlah tidak mudah. Meraih jabatan sebagai Presiden banyak ditopang oleh kematangan strategi politik, tetapi menjadi pemimpin sebuah negeri sangat membutuhkan kekuatan mental serta kesediaan sakit dan berkorban demi negeri serta rakyat yang dipimpinnya.
Konsep sebagai seorang pemimpin besar telah ditunjukkan secara nyata oleh Presiden Soekarno dalam menyikapi langkah-langkah kudeta Jenderal Soeharto dan kroninya.
TINDAKAN Soeharto menyelewengkan Surat Perintah 11 Maret 1966 sangat menyakiti perasaan Bung Karno. Sejumlah petinggi militer yang masih setia pada Sukarno ketika itu pun merasa geram. Mereka meminta agar Sukarno bertindak tegas dengan memukul Soeharto dan pasukannya. Tetapi Sukarno menolak.
Sukarno tak mau terjadi huru-hara, apalagi sampai melibatkan tentara. Perang saudara, menurut Sukarno, adalah hal yang ditunggu-tunggu pihak asing—kaum kolonial yang mengincar Indonesia–sejak lama. Begitu perang saudara meletus, pihak asing, terutama Amerika Serikat dan Inggris akan mengirimkan pasukan mereka ke Indonesia dengan alasan menyelamatkan fasilitas negara mereka, mulai dari para diplomat kedutaanbesar sampai perusahaan-perusahaan asing milik mereka.
Kesaksian mengenai keengganan Sukarno menggunakan cara-cara kekerasan dalam menghadapi manuver Soeharto disampaikan salah seorang menteri Kabinet Dwikora, Muhammad Achadi. Saya bertemu Achadi, mantan menteri transmigrasi dan rektor Universitas Bung Karno itu dua pekan lalu di Jalan Taman Amir Hamzah, Jakarta Pusat. Achadi bercerita dengan lancar kepada saya dan beberapa teman. Air putih dan pisang rebus menemani pembicaraan kami sore itu.
Komandan Korps Komando (KKO) Letjen Hartono termasuk salah seorang petinggi militer yang menyatakan siap menunggu perintah pukul dari Sukarno. KKO sejak lama memang dikenal sebagai barisan pendukung utama Soekarno. Kalimat Hartono: “hitam kata Bung Karno, hitam kata KKo” yang populer di masa-masa itu masih sering terdengar hingga kini.
Suatu hari di pertengahan Maret 1966, Hartono yang ketika itu menjabat sebagai Menteri/Wakil Panglima Angkatan Laut itu datang ke Istana Merdeka menemui Bung Karno. Ketika itu Achadi sedang memberikan laporan pada Sukarno tentang penahanan beberapa menteri yang dilakukan oleh pasukan yang loyal pada Soeharto.
Mendengar laporan itu, menurut Achadi, Bung Karno berkata (kira-kira), “Kemarin sore Harto datang ke sini. Dia minta izin melakukan pengawalan kepada para menteri yang menurut informasi akan didemo oleh mahasiswa.”
“Tetapi itu bukan pengawalan,” kata Achadi. Untuk membuktikan laporannya, Achadi memerintahkan ajudannya menghubungi menteri penerangan Achmadi. Seperti Achadi, Achmadi juga duduk di Tim Epilog yang bertugas menghentikan ekses buruk pascapembunuhan enam jenderal dan perwira muda Angkatan Darat dinihari 1 Oktober 1965. Soeharto juga berada di dalam tim itu.
Tetapi setelah beberapa kali dicoba, Achmadi tidak dapat dihubungi. Tidak jelas dimana keberadaannya.
Saat itulah Hartono minta izin untuk menghadapi Soeharto dan pasukannya. Tetapi Bung Karno menggelengkan kepala, melarang.
Padahal masih kata Achadi, selain KKO, Panglima Kodam Jaya Amir Machmud, Panglima Kodam Siliwangi Ibrahim Adji, dan beberapa panglima kodam lainnya juga bersedia menghadapi Soeharto.
“Bung Karno tetap menggelengkan kepala. Dia sama sekali tidak mau terjadi pertumpahan darah, dan perang saudara.”
Kalau begitu apa yang harus kami lakukan, tanya Achadi dan Hartono.
Bung Karno memerintahkan Hartono untuk menghalang-halangi upaya Soeharto agar jangan sampai berkembang lebih jauh. “Hanya itu tugasnya, Hartono diminta menjabarkan sendiri. Yang jelas jangan sampai ada perang saudara,” kata Achadi.
Menghindari perang saudara inilah sebagai wujud kecintaan Presiden Soekarno terhadap rakyat dan negeri ini. Pantang bagi Bung Karno meneteskan darah diatas negeri ini, apabila hanya akan ditukar dengan sebuah kekuasaan.
Salam Revolusi